Isnin, 1 November 2010

ARTIKEL : Semangat Ilmiah dari Istana

Istana Ukhaidir di Padang Pasir Mesopotamia, 778 (Alle Abbildungen � Antiquities Baghdad)

SEMUA bermula dari sebuah kemenangan. Dinasti Abbasiyah berhasil menaklukkan seteru politiknya, Dinasti Umayah, pada paruh pertama abad kedua Hijriah (abad ke-8 M). Ibu kota kekhalifahan yang selama kekuasaan Dinasti Umayah berada di Damaskus pun dipindahkah ke Baghdad oleh Khalifah Abu Ja'far al-Mansur pada 145 H (762 M). Pemindahan itu jelas bukan tanpa alasan.

Baghdad dipilih setelah mempertimbangkan faktor strategis-politis dan geografis. Kekuatan pendukung Dinasti Abbasiyah terletak di kawasan Persia. Jika ibu kota tetap di Damaskus, posisi kekhalifahan yang baru seumur jagung sangat terancam oleh para pengikut Bani Umayah. Sementara, kalau Basra atau Kufah yang dipilih, kedua kota ini jauh dari Persia.


Sebelum ditetapkan sebagai pusat pemerintahan, Khalifah Abu Ja'far sudah mengirim sebuah ekspedisi untuk meneliti Baghdad secara geografis. Para ahli yang dikirim itu tinggal di kawasan Baghdad yang masih berupa perkampungan dalam beberapa musim yang berbeda. Mulai keadaan tanahnya, udara, hingga keadaan lingkungannya dinilai sangat baik untuk ibu kota.

Segera setelah laporan itu diterima, khalifah mengeluarkan perintah pembangunan kota yang namanya sudah tercatat dalam dokumen Raja Babilonia, Hammurabi (1792-1750 SM). Dalam bahasa Persia, Baghdad berarti ''pemberian Tuhan''. Konon, lebih dari 100.000 orang dikerahkan dalam pembangunan kota yang berbentuk bundar dan dikelilingi tembok kota setinggi 27 meter itu.

Istana Abbasiyah (Alle Abbildungen � Antiquities Baghdad) Di tengah-tengah Baghdad dibangun ''Istana Emas'', yang berdampingan dengan Masjid Jami al-Mansur. Tradisi keilmuan di Baghdad bertiup dari istana. Kalangan istana, terutama khalifah, amat bersimpati pada aliran pemikiran Mu'tazillah yang baru berkembang dan dipelopori Abu Hudzaifah Washil bin Atha' al-Ghazali. Aliran ini membuka peluang sebesar-besarnya pada akal manusia dan menjadikan skeptisisme sebagai dasar sikap untuk memahami segala hal.

Dasar-dasar rasionalisme seperti inilah yang sangat berpengaruh terhadap posisi Baghdad sebagai pusat ilmu pengetahuan dan kajian Islam selama lebih dari dua abad. Kemajuan di bidang kebudayaan dan ilmu pengetahuan di Baghdad jelas sekali tak lepas dari dukungan penuh kalangan istana. Pemerintah kala itu menghidupkan tradisi diskusi agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan di kalangan ahlinya.

Gerakan penerjemahan karya-karya ilmiah berbahasa Yunani, Persia, Siria, bahkan bahasa India ke dalam bahasa Arab pun digalakkan. Khalifah Harun ar-Rasyid, khalifah kelima Bani Abbas yang memerintah selama 23 tahun (786-809 M), berhasil membangun lembaga ilmu pengetahuan yang disebut Bait al-Hikmah. Walau baru sebagai lembaga penerjemahan karya asing, Bait al-Hikmah memiliki arti sangat strategis dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

Fungsi Bait al-Hikmah kemudian diperluas lagi oleh penerus Harun ar-Rasyid, Khalifah Al-Ma'mun (813-830 M). Lebih maju dari khalifah sebelumnya, Al-Ma'mun dengan tegas menjadikan Mu'tazillah sebagai ideologi dan paham keagamaan resmi negara. Selama 20 tahun memerintah, ia menjadikan lembaga itu sebagai perguruan tinggi. Di situ pula ia membangun perpustakaan besar, dengan koleksi bacaan sangat lengkap, dan pusat kajian ilmiah, lengkap dengan ruang-ruang tempat para pakar berdiskusi. Malah, lembaga itu memiliki tempat khusus untuk mengobservasi bintang.

Langkah penting yang dilakukan Al-Ma'mun dalam pengembangan ilmu pengetahuan adalah mengirim utusan ke Roma. Dari Kaisar Leo Armenia, ia berusaha mendapatkan karya-karya ilmiah Yunani kuno untuk diterjemahkan. Pada tahap pertama, tim penerjemah yang dibentuknya mengalihbahasakan buku-buku di bidang pengobatan dan filsafat. Setelah itu, baru disiplin lain seperti matematika, astronomi, fisika, dan geografi.

Mesjid Jami Al-Khulafa di Baghdad (Alle Abbildungen � Antiquities Baghdad) Kemauan baik pemerintahan di bawah Bani Abbas untuk memajukan pendidikan dan ilmu pengetahuan ini menyebabkan pemikiran filsafat, ilmu pengetahuan, dan agama berkembang pesat. Bukan itu saja, banyak orang dari berbagai negeri mengalir ke Baghdad untuk menuntut ilmu. Pakar dari berbagai kota memilih bermukim di Baghdad untuk mengkaji dan mengembangkan ilmu kedokteran, matematika, kimia, fisika, astronomi, filsafat, sastra, musik, dan ilmu-ilmu agama.

Alhasil, dari kota ini muncul banyak nama ilmuwan dan filsuf besar Islam yang pemikirannya di kemudian hari banyak memberi pengaruh pada perkembangan dunia keilmuan dan filsafat di Barat. Semangat keilmuan yang dibawa khalifah di Baghdad bergaung dan menyebar ke banyak arah, dibawa oleh para pakar yang pernah belajar di Bait al-Hikmah.

Satu abad setelah masa gemilang Khalifah Al-Ma'mun, kekuasaan politik Bani Abbas merosot. Pamor kekhalifahan makin melorot, dan fungsinya mulai berubah sekadar simbol kesatuan umat. Kekuasaan politik terbagi-bagi di kalangan para kepala suku atau bangsawan. Pertentangan penganut aliran-aliran Islam, terutama kaum Sunni dan Syiah, kian memperburuk keadaan.

Namun, dalam carut-marut politik itu, semangat berpikir dan mengembangkan ilmu pengetahuan tak menyurut. Berbagai kegiatan intelektual pun menyebar, tak lagi terpusat hanya di Baghdad. Kalau dulu khalifah yang mendorong dan melindungi kegiatan keilmuan, kini para bangsawan dan kepala sukulah yang berperan. Para kepala suku bersaing dan beradu unggul mengembangkan ilmu pengetahuan.

Pemikiran-pemikiran kritis di berbagai bidang sejak itu tidak lagi hanya tumbuh terbatas di Baghdad. Dunia Islam sebelah barat, Kordoba dan Grenada, Spanyol, turut memegang peranan penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Dari kedua kota itu pun lahir pemikir-pemikir besar Islam lainnya. Begitu pula Kairo dan Iskandariyah, yang juga memiliki perpustakaan setara dengan Baghdad.

Kubah Emas di Makam Al-Askari & Al-Hadi, Samarra (Alle Abbildungen � Antiquities Baghdad) Kedua kota itu turut memberi saham bagi perkembangan dunia Islam dan ilmu pengetahuan. Bani Fathimiyah di Mesir mendirikan kota Kairo. Di sana kaum penganut aliran Syiah-Ismailiyah ini mendirikan pula Universitas Al-Azhar. Maka, kemajuan ilmu pengetahuan dan filsafat di dunia Islam pun terbagi dalam tiga poros: Baghdad (termasuk Basra dan Kufah) di Irak, Kordoba-Grenada di Spanyol, dan Kairo-Iskandariyah di Mesir.

Filsuf besar Ibnu Rusyd, misalnya, adalah intelektual Islam yang lahir dari Kordoba. Pemikir yang di dunia Barat dikenal dengan sebutan Averoes itu meruntuhkan pemikiran ''sufistik'' yang dilahirkan Al-Ghazali dari ''mazhab'' Baghdad. Malah, intelektual besar lainnya, Ibnu Sina, muncul dari tempat yang sangat jauh di kawasan pantai selatan Laut Kaspia, yakni Bukhara.

Filsuf yang di dunia Barat dikenal dengan nama Aveciena itu sempat menerbitkan ensiklopedi kedokteran dan karya-karya filsafat. Ibnu Rusyd dan Ibnu Sina membawa pengaruh sangat besar pada perkembangan filsafat dan dunia keilmuan dunia Barat. Mereka menjadi faktor pendorong bagi timbulnya gerakan Renaisans dan humanisme.

Masa kejayaan ilmu pengetahuan, filsafat, dan pemikiran keagamaan di dunia Islam mulai surut sejak pertengahan abad ke-14 M. Yakni sejak bangsa Mongol di bawah Hulaghu Khan dan Timur Leng menyerang lalu melumatkan pusat-pusat dunia ilmu di Irak dan Iskandariyah. Sejak itu, enam abad sudah dunia Islam terlelap dan belum kunjung dapat meraih kembali masa yang gilang-gemilang itu.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan