Khamis, 17 Mac 2011

INFO : Orientasi Seksual Dari Teropong Psikologi

SeksualitasOrientasi seksual adalah pilihan sosio-erotis seseorang untuk menentukan jenis kelamin partner seksualnya apakah dari jenis kelamin yang berbeda atau jenis kelamin yang sama (Galliano, 2003; Lips, 2005). Perlu diketahui bahwa pilihan ini tidak melulu berbicara soal hubungan seks, namun juga menyangkut banyak hal misalnya emosi, perasaan, dan keinginan untuk memiliki pasangan hidup, juga aspek seksualitas yang lebih luas.

Orientasi seksual secara garis besar dapat dibedakan menjadi :

  • Heteroseksual, yaitu orang dengan pilihan partner seksual dari jenis kelamin yang berlawanan.
  • Homoseksual, yaitu orang dengan pilihan partner seksual dari jenis kelaminnya sendiri (Masters, 1992)
  • Biseksual, yaitu orang yang tertarik secara seksual baik itu terhadap laki-laki maupun perempuan (Masters, 1992)
Teori lain juga mencoba menjelaskan model dari orientasi seksual ini, diantaranya adalah model psikoanalitik klasik yang menyatakan bahwa semua orang itu adalah biseksual (tendensi biseksual) atau model yang ditawarkan oleh Storm, yaitu Two-Dimensional-Orthogonal, yang menyatakan bahwa homo-erotisme dan hetero-ertisme dalam diri individu adalah dua hal yang independen. Dalam model ini, homo-seksual adalah seseorang yang memiliki tingkat homo-erotisme yang tinggi dan tingkat hetero-erotisme yang rendah (McWhirter, 1990).  Telah banyak Penelitian yang dilakukan untuk mencari tahu faktor-faktor penyebab mengapa seseorang memiliki orientasi seksual yang berbeda dengan yang lainnya. Secara garis besar, terdapat dua teori yang mencoba menjelaskan fenomena tersebut yaitu teori biologis dan teori psikologis.

Teori Biologis

Teori ini menyatakan bahwa orientasi seksual sangat dipengaruhi oleh faktor genetik atau faktor hormonal. Kallman, dalam Masters (1992), telah melakukan penelitian terhadap orang-orang kembar dimana salah satunya diidentifikasi sebagai seorang homoseksual. Asumsinya adalah lingkungan prenatal dan postnatal dari dua orang kembar adalah sama sehingga faktor genetik yang menyebabkan homoseksual juga sama sehingga kemungkinan dua orang kembar sama-sama memiliki orientasi seksual homoseksual lebih besar dibandingkan dengan kemungkinan salah satunya homoseksual sementara yang lain heteroseksual. Kallman juga memaparkan bahwa kemungkinan tersebut lebih besar terjadi pada kembar monozygotic (identik secara genetis) dibandingkan pada kembar dizygotic, yaitu kembar yang tidak identik secara genetis (Allgeier, 1991). Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Zuger dan Heston & Shields ternyata tidak menunjukkan hasil yang sama sehingga teori ini tidak digunakan lagi sekarang (Masters, 1992).
Beberapa tipe  penelitian yang berbeda telah mengarahkan banyak ahli untuk membuat spekulasi dari kemungkinan adanya faktor hormonal yang menyebabkan homoseksualitas (Masters, 1992). Pertama,  dokumentasi dari penelitian yang dilakukan oleh Dorner, Money dan Ehrhardt, dan Htchison, mengungkapkan bahwa pemberian treatmen hormonal pada saat prenatal dapat mengarahkan kepada pola perilaku homoseksual pada beberapa spesies binatang (Masters, 1992). Kedua, beberapa temuan menunjukkan bahwa kekurangan hormon seks pada saat prenatal mungkin dapat diasosiasikan dengan homoseksualitas. Contoh kasusnya adalah penelitian (Ehrhardt, Evers, dan Money; Money dan Schwartz) terhadap perempuan dengan adrenogenital syndrome -yaitu kekurangan hormon androgen pada masa prenatal- mengindikasikan bahwa individu tersebut memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk menjadi seorang lesbian. Ketiga, perhatian yang sangat besar difokuskan pada perbandingan jumlah hormon pada orang dewasa yang homoseksual dan heteroseksual. Sementara beberapa penelitian seperti yang dilakukan oleh Meyer-Bahlburg dan Tourney menunjukkan bahwa laki-laki homoseksual memiliki testoterone yang lebih sedikit dan estrogen yang lebih banyak, dan satu penelitian lain menemukan bahwa kadar testosterone yang tinggi pada perempuan lesbian dibandingkan pada perempuan heteroseks, penelitian-penelitian lainnya justru gagal menunjukkan asumsi ini (Masters, 1992). Salah satu keterbatasan teori ini dicontohkan pada pemberian treatment hormon seks pada homoseksual dewasa yang ternyata tidak mengubah orientasi seksual mereka.
Penelitian terakhir mengenai faktor biologis dalam pembentukan orientasi seksual dilakukan oleh Simon LeVay (Rice, 2002) yang menemukan sekumpulan syaraf dalam hypothalamus laki-laki heteroseksual ukurannya tiga kali lebih besar dibandingkan dengan yang dimiliki oleh laki-laki homoseksual dan perempuan heteroseksual. Namun, hasil penelitian ini menimbulkan pertanyaan: Apakah kumpulan syaraf yang lebih kecil itu yang menyebabkan seseorang menjadi homoseksual atau justru sebaliknya, kehomoseksualan seseorang yang menyebabkan ukurannya mengecil? Penelitian yang lain menunjukkan bahwa syaraf-syaraf berubah dalam merespon suatu pengalaman. Hipotesis lain menyatakan mungkin ada faktor lain yang tidak diketahui yang menyebabkan baik itu homoseksualitas maupun perbedaan ukuran syaraf.

Teori Psikologis

Berbeda dengan teori biologis, teori psikologis mencoba menerangkan faktor penyebab homoseksualitas bukan dari aspek fisiologis. Freud percaya bahwa homoseksualitas adalah hasil perkembangan dari predisposisi biseksual yang terdapat dalam diri semua individu. Freud memiliki pemikiran bahwa setiap orang memiliki  kecenderungan homoseksual yang bersifat laten, dan Freud percaya, bahwa dalam kondisi tertentu, misalnya saja continuing castration anxiety pada laki-laki, perilaku homoseksual mungkin akan muncul pada usia dewasa (Masters, 1992).
Bibier meneliti fenomena homoseksual ini dari sisi latar belakang keluarga. Penelitiannya menemukan bahwa kebanyakan dari homoseksual laki-laki memiliki ibu yang overprotective dan dominan, serta ayah yang lemah atau pasif. Pola keluarga seperti ini tidak ditemukan pada subjek heteroseksual (Masters, 1992). Bibier menamakan teorinya dengan triangular system, yaitu seorang homoseksual laki-laki secara tipikal adalah anak yang kelebihan intimasi, adanya ibu yang mengontrol, dan ayah yang ditolak (Allgeier, 1991). Sementara Wolf menemukan bahwa diantara 100 lesbian yang dibandingkan dengan perempuan heteroseksual, karakteristik orangtua mereka yang menonjol adalah penolakan terhadap ibu dan kurang atau tidak adanya peran ayah. Wolf mempercayai bahwa homoseksualitas dalam perempuan muncul karena penerimaan kasih sayang yang tidak adekuat dari ibu kepada anak perempuannya, yang mengarahkan anak perempuannya untuk mencari kasih sayang dari perempuan lain (Masters, 1992). Penelitian lain yang dilakukan oleh Robinson, Skeen, Flake-Hobson, dan Herman pada tahun 1982 dan melibatkan 322 orang homoseksual laki-laki dan perempuan menunjukkan hasil bahwa 2/3 responden menyatakan bahwa hubungan mereka dengan ayah adalah sangat memuaskan atau memuaskan. Tiga per empat responden menyatakan bahwa hubungan mereka dengan ibu sangat memuaskan atau memuaskan. Sekitar 64% responden merasa bahwa mereka selalu disayangi oleh ibunya, namun hanya 36% yang merasakan bahwa mereka selalu disayangi ayah mereka. Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa hubungan dalam keluarga mungkin merupakan latar belakang dari orientasi seksual seseorang, namun tidak bisa digeneralisir pada semua kasus (Rice, 2002).
Sementara McGuire, Gagnon dan Simon,  Masters dan Johnson, berpegang pada teori psikososial yang mengungkapkan bahwa homoseksualitas adalah fenomena yang dipelajari (Masters, 1992). Pengkondisian psikologis diasosiasikan dengan reinforcement atau punishment pada awal perilaku seksual (dan juga pikiran dan perasaan yang menyangkut seksualitas) yang mengontrol proses terbentuknya orientasi seksual. Pandangan behavioral ini juga menjelaskan mengapa beberapa orang heteroseksual menjadi homoseksual pada masa dewasa mereka, yaitu jika seseorang mendapatkan pengalaman heteroseksual yang tidak menyenangkan kemudian dikombinasikan dengan pengalaman homoseksual yang bersifat menyenangkan, dapat mengarahkan seseorang menjadi homoseksual. Observasi yang dilakukan Grundlach terhadap perempuan korban perkosaan laki-laki yang akhirnya menjadi lesbian, mendukung pendapat ini (Masters, 1992).
Penelitian yang melibatkan 686 laki-laki homoseksual, 293 perempuan homoseksual, 337 laki-laki heteroseksual, dan 140 perempuan heteroseksual, tidak dapat menemukan pendukung yang kuat bagi teori-teori psikoanalisis, teori belajar sosial, atau teori sosiologis lainnya, sehingga mereka membuat kesimpulan bahwa homoseksualitas pasti memiliki dasar biologis. Kesimpulan lainnya adalah bahwa tidak ada yang mengetahui secara pasti faktor-faktor yang menyebabkan homoseksualitas (Rice, 2002).
Tentu saja, bukan hanya psikologi yang mencoba menggali homoseksualitas ini, teori-teori sosial lain juga banyak yang mencoba mengkaji homoseksualitas dengan cara mereka masing-masing. Untuk mengetahui jawaban mengapa seseorang (menjadi) homoseksual, kita harus menemukan jawaban, mengapa seseorang (menjadi) heteroseksual, tentu dengan metode ilmiah, karena jika menggunakan alibi “kodrat”, selsesai sudah. Yang menjadi catatan penting adalah bahwa American Psychiatric Assosiation telah menghapuskan homoseksual dari daftar gangguan kejiwaan pada tahun 1974 dengan tidak mencantumkannya dalam DSM III dan diamini oleh WHO pada tahun 1992. Demikian juga dalam Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa yang menjadi pegangan psikiater dan psikolog di Indonesia.
http://www.ciri-ciri.com/orientasi-seksual-dari-teropong-psikologi/

Tiada ulasan:

Catat Ulasan