“Happy girls are the prettiest,” demikian kata Audrey Hepburn, seorang aktris yang terpilih oleh Evian sebagai pemenang the most beautiful women of all time. Pertanyaan saya hari ini adalah apakah itu juga boleh berlaku kebalikannya? Apakah kecantikan di luar selalu membawa, menularkan kebahagiaan ke dalam?
Wanita adalah makhluk yang sangat beruntung karena diciptakan dengan fisiologi yang jauh lebih indah daripada lelaki. Wanita juga diberikan ‘hak untuk terus semakin memperindah diri’ di sepanjang hidupnya dengan bantuan teknologi kosmetik.
Tidak heran seluruh lelaki di dunia ini sering bertekuk lutut di hadapan keindahan wanita. Bukan lelaki saja, sesama wanita pun terbiasa mengagumi keindahan wanita lainnya. Bahkan menurut penelitian, bayi cenderung menatap lebih kerap dan lama pada wajah yang cantik.
Jadi wanita cantik -baik secara alamiah atau dengan berbagai penambah estetikanya- terlihat memiliki kehidupan yang sangat menyenangkan. Kecantikan seseorang boleh membawa kebahagiaan karena semakin cantik seorang wanita, semakin dia mendapatkan banyak akses menuju hal-hal yang memberi kebahagiaan.
Misalnya secara pergaulan sosial, mereka pasti banyak dikagumi orang sehingga memiliki banyak teman. Secara karir, mereka juga pasti tidak kesulitan menarik hati orang lewat kecantikan plus keterampilan bekerjanya.
Bahkan University of California menyatakan dalam Journal of Economic Psychology bahwa “Attractive people make more money than middle attractive people, who in turn make more money than unattractive people.” Studi lainnya dari London Guildhall menambahkan, “Overweight women are more likely to be unemployed and that those who are working earn on average 5 percent less than their trimmer peers.”
Mengapa boleh demikian?
Setelah menghabiskan lebih dari 30 tahun meneliti keindahan fisik, Dr. Gordon Patzer menjawab, “Human beings are hard-wired to respond more favorably to attractive people. People go out of their way to help attractive people—of the same and opposite sex—because they want to be liked and accepted by good-looking people.”
Jadi dengan seluruh keuntungan di atas, wanita cantik itu sudah pasti merasa bahagia, ‘kan? Atau setidaknya lebih bahagia dibandingkan wanita yang kurang cantik?
Jawabannya, tidak.
Dalam buku Psychology Applied To Modern Life, dikutip hasil penelitian Wolsic Diener berikut ini: “Given that physical attractiveness is an important resource in Western society, we might expect attractive people to be happier than others, but the available data indicate that the correlation between attractiveness and happiness is negligible.”
Negligible artinya ‘tidak berarti’, ‘tidak signifikan’, atau ‘sedemikian kecil sehingga tidak perlu diperhitungkan.’ Kalau menurut saya peribadi, malah efeknya berbanding terbalik. Alias semakin cantik wanita, semakin dia sulit untuk merasakan kebahagiaan yang stabil.
Berikut adalah sepuluh penjelasannya.
- Kecantikan itu kompetitif. Wahai lelaki, sedarilah bahwa wanita mempercantik dirinya bukan untuk menarik perhatian Anda, melainkan demi mengimbangi dan mengalahkan wanita lainnya. Jika Anda memiliki sahabat wanita yang cantik, Anda pasti boleh merasakan ‘kompetisi rahsia’ ini dengan wanita cantik lainnya. Mereka terlihat sangat bersahabat satu sama lain, namun di detik berpisah sejenak saja (misalnya ke toilet), masing-masing akan akan saling membicarakan yang lain dengan nada yang agak miring menjatuhkan. Kehadiran wanita cantik lain akan selalu membuat seorang wanita merasa tidak cukup cantik, walaupun ia tidak akan mengakuinya secara verbal. Wanita memang cenderung membandingkan dirinya dengan wanita lain, tapi wanita cantik selalu melakukannya. Tidak heran mereka merasa insecure. Ketika bercermin, mereka berharap melihat refleksi diri yang dua kali lebih cantik daripada diri sebenarnya dan tiga kali lebih cantik daripada wanita tercantik lainnya. Inilah yang memicu ucapan terkenal yang sangat kompetitif itu, “Mirror mirror on the wall, who’s the prettiest of all?“
- Kecantikan itu adiktif. Lebih tepatnya, menarik perhatian dan menjadi pusat perhatian itu adiktif alias mencandu. Sebagai manusia, kita selalu mahu diperhatikan. Sekali saja kita merasakan nikmatnya jadi pusat perhatian, maka kita selalu menginginkannya dan merasa tidak dapat hidup tanpanya. Kehilangan perhatian dari satu lelaki saja, sekalipun masih ada perhatian dari 99 lelaki lainnya, boleh membuat seorang wanita cantik merasa gerah, kalang kabut, dan berusaha mengejar sang satu lelaki ‘brengsek’ itu. It’s based on our real life experiments, guys, one of the success principles we teach in Hitman System classes.
“Same thing happens to drug addicts when they don’t have drugs, they go through withdrawls. Beautiful women base their happiness based on the people around them from constant praise from others. Perhaps they are more sensitive to what people think, making them feel insecure more often.“
- Kecantikan itu diskriminatif. Tadi Anda sudah baca bahwa wanita cantik diperlakukan lebih manis, lebih disukai, dan lebih-lebih lainnya. Namun diskriminasi itu juga tidak selalu menguntungkan mereka, ada juga efek negatifnya. Jika sang wanita cantik kebetulan lalai, malas, ceroboh, atau tidak terampil, maka mereka akan lebih dihakimi, diledek, direndahkan daripada wanita lain yang bersikap sama namun tidak berpenampilan cantik. Kecantikan adalah pedang bermata ganda.
- Kecantikan itu dusta bisnis raksasa. Wanita terus dimanipulasi oleh media dan industri kecantikan untuk mempercantik dirinya tanpa pernah berhenti. Mereka hanya boleh bahagia sejenak setelah mengkonsumsi produk tertentu, lalu merasa kurang bahagia lagi ketika melihat seorang bintang iklan yang lebih muda dan lebih kurus. Majalah wanita penuh dengan artikel yang mencuci otak mereka bahwa dengan menurunkan berat badan mereka boleh mendapat seluruh kemudahan hidup: pernikahan, seks, dan karir. Itu adalah dusta-dusta yang selalu diumbar oleh media dan alasannya adalah jelas motif bisnis. Wanita Amerika rata-rata menghabiskan $12,000 per tahun untuk perawatan kecantikannya, jadi bayangkan betapa besar kerugian industri kecantikan jika seluruh wanita boleh merasa dirinya cantik tanpa perlu kosmetik. Dengan merepresentasikan kecantikan yang terlalu ideal dan sulit diikuti, industri kosmetik dan produk diet akan terjamin masa depannya. Jadi wanita cantik boleh lebih bahagia jika mereka berhenti melihat iklan di majalah dan TV.
- Kecantikan itu sarat idea utopian. Dalam bahasa sehari-hari utopian boleh diertikan ‘khayalan’ atau ‘menarik tapi tidak dapat diterapkan’. Ada banyak contoh namun saya beri satu saja. Anda pasti tahu boneka Barbie? Nah para periset medis sudah meneliti bahwa proporsi tubuh Barbie ternyata sangat berbahaya dilakukan di dunia nyata. Punggungnya terlalu lemah untuk menyokong berat bagian tubuh atas dan tubuhnya terlalu sempit sehingga hanya akan merusak hati, ginjal, dan saluran pencernaan lainnya. Wanita yang benar-benar berbentuk seperti itu dipastikan mengalami penyakit lambung yang kronis dan cenderung meninggal karena malnutrisi. Yang mengerikan adalah menurut survei, 99% dari anak kecil usia 3 – 10 tahun di seluruh dunia sangat mencintai figur Barbie dan memiliki setidaknya satu boneka saja. Silakan duga-duga sendiri seberapa kurang bahagia mereka ketika besar nanti menyadari bahwa figur tubuh impiannya itu tidak mungkin dicapai dengan keadaan tubuh yang sehat.
- Kecantikan itu topeng yang menyulitkan. Karena sudah cantik dan indah, wanita cantik jarang dianggap punya masalah. Semua orang (terutama lelaki!) menganggap wanita cantik menjalani hidup dengan mudahnya. Akibatnya wanita demikian jadi sulit sekali untuk bersahabat apa adanya dengan orang lain. Mereka terpaksa mengamini ekspektasi orang lain bahwa hidup mereka itu selalu indah, karena kan bercerita tentang kesulitan hidup hanya akan diresponi dengan tidak percaya atau tidak serius, “Ah sudahlah, itu bukan masalah… kamu kan cantik, tak perlu risau berfikir begitu.” Jadi daripada curhat, lebih baik mereka menyimpan dan menangisi sendiri. Itu sebabnya banyak wanita cantik yang sering berkesan sok positive-thinking, sehingga kita juga semakin terbius bahwa hidup mereka selalu bahagia. Mengutip salah satu bagian dari tulisan When Beauty Hides Pain, “Lots of celebrities and regular people alike struggle with self-esteem issues and substance abuse problems among other demons. I wonder if the beauty and accolades don’t just hide their pain from the public for a time–but from them as well. And if beauty is hiding hurt, it doesn’t matter how much beauty you have–things will get ugly at some point.“
- Kecantikan itu obsesi metropolitan. Dalam penelitian Victoria Plaut, Does Attractiveness Buy Happiness?, ia menemukan bahwa jawabannya ya hanya jika sang wanita tinggal di daerah perkotaan. Wanita cantik yang tinggal di pedesaan tidak akan begitu merasakan perbedaan kebahagiaan atau kenikmatan tersebut. Anda pasti sudah sering melihat mahasiswi dari daerah yang pindah ke kuliah ke bandar besar, kecantikannya meningkat seiring tingkat semesternya. Kecantikan adalah keperluan baru yang dikonstruksikan (baca: ditekankan, dipaksakan) oleh masyarakat modern. Victoria menambahkan, “There’s a lot of social pressure in the city. While in the rural areas and country, there’s a sense of stability and comfort. You feel like you can just be yourself. Part of that sense of acceptance comes from having friends you’ve known since elementary school. It’s not like living in the city where you’re surrounded by so many unknown faces. Rural people have known you since you were little. So you don’t feel pressure to be cool to fit in.“
- Kecantikan itu membingungkan. Semua orang menyarankan jadi diri sendiri apa adanya. Bahkan semua media television dan majalah juga menyuarakan seperti itu. Anehnya, kita juga dibombardir dengan produk kosmetik yang membuat diri Anda lebih indah secara alamiah, “Get that natural beauty with product X and Y!” Alamiah tapi pulak pakai produk? Paradoks. Kebetulan sekali saya kemarin ini membaca ucapan seorang gadis berusia 16 tahun di majalah Girl Talk. “Magazines have ads of how you should dress and what you should look like and this and that. And then they say, ‘but respect people for what they choose to be like.’ Ehm okay… so which do we do first?“
- Kecantikan itu menyakitkan. Wanita cantik menderita secara fisik dan finansial ketika sedar bahwa dirinya cantik dan perlu mempertahankan kecantikannya itu. Saya sudah jelaskan panjang lebar dalam tulisan Harga Dari Kecantikan.
- Kecantikan itu temporer. Jauh di dalam dirinya, setiap wanita menyadari bahwa kecantikan mereka memiliki batas kadaluarsa. Usia produktif kecantikan kurang lebih sepuluh tahun saja, kasarnya dari usia 17-27. Itu sebabnya semakin mendekati batas akhir, wanita cantik semakin selektif dalam memilih pasangan, bitchy, atau sejenisnya karena ‘tahu’ bahwa jadwal tayang kecantikan-alamiah mereka sudah nyaris habis. Menjelang usia 30an, mereka yang punya resources untuk membeli kosmetik ‘kecantikan-alamiah’ akan terus membudidayakan sikap seperti itu, sementara mereka yang tidak mampu mulai menurunkan standard preferensi pasangannya. Tapi tidak peduli berasal dari kaum the haves atau the havenots, wanita cantik selalu dibayang-bayangi kecemasan abadi, “Apa yang akan terjadi seandainya saya tidak cantik lagi? Apakah mereka masih mau jadi teman saya? Apakah kekasih saya tetap mencintai saya?” Ini adalah kekhawatiran yang tidak menghantui para wanita yang kurang diberkahi dengan kecantikan.
Jadi apakah wanita cantik itu terlihat bahagia? Jelas ya.
Namun apakah mereka benar-benar bahagia? Melihat kesepuluh point di atas, mungkin saja mereka masih bahagia, tapi yang jelas tidak sebahagia yang kita pikir.
Saat ini masyarakat modern memberi banyak sekali penekanan pada gaya hidup yang cantik dan indah sebagai indikator kebahagiaan hidup. Saya harap setiap point di atas membuka mata Anda tentang tekanan, kesulitan, dan pergumulan yang dialami oleh wanita cantik.
Jadi jika Anda bersahabat dengan wanita cantik, berhentilah terkagum-kagum ataupun memujanya. Karena realitanya adalah mereka tidak sebahagia itu! Mereka justru ‘tersiksa’ karena kecantikannya itu, sekalipun kebanyakan akan menyangkal fakta itu mati-matian.
Masih ada banyak poin ketidakbahagiaan lainnya yang tidak dapat saya jabarkan di sini karena akan disalah mengerti sebagai politically incorrect bagi para kaum feminis yang terlampau sensitif. Jika Anda berminat dan ingin memiliki cara pandang yang lebih seimbang dan sehat tentang wanita cantik, silakan ikuti sesi Worship of Women Syndrome di pelatihan Hitman System.
Kaum budayawan dan filsuf biasa memaknai kecantikan sebagai sebuah tatanan moral. “What is beautiful is good,” kata Plato. “Beauty is truth, truth beauty,” tulis John Keats. Anatole France menyuarakan, “Beauty is more profound than truth itself.” Sementara saya peribadi hanya sederhana saja, “Beauty is an ironic tragedy we all love to see.”
Anda punya ide dan pengalaman lainnya? Bagikan di kolom komen.Oh ya, titipan sponsor, klik info seminar Revolusi Romansa di kota Anda!
Salam revolusi cinta,
Lex dePraxis
Solusi Romansa #1 di Indonesia
http://lex.hitmansystem.com/2010/10/apakah-wanita-cantik-itu-bahagia/
Tiada ulasan:
Catat Ulasan